DEPRESI

        Manusia  itu merupakan mahluk yang multidimensional. Karena itu ia kemudian terus menjadi sebuah persoalan sebab sifat dinamis, paradoksal dan misterius. Pada sifat nya yang dinamis membuat manusia terus-menerus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, pada sifat paradoksal nya membuat manusia itu tidak akan habis untuk di dalami, dan pada sifat misterius nya itu yang kemudian menjadikan manusia tetap merupakan sebuah rahasia yang tidak akan pernah bisa diungkap secara tuntas hanya dari satu perspektif. Dan untuk itu sangat sulit bagi kita untuk dapat mengerti sepenuh nya secara sempurna tentang manusia. Bagian tersulit dari memahami manusia itu sendiri, ialah menjadi manusia. Menarik bukan? Membahas mengenai manusia itu tidak akan ada habis nya, karena akan selalu ada hal-hal baru yang dapat kita temukan dari seorang manusia, yang dimana antar satu dengan yang lain mempunyai perbedaan. Tetang hal yang di sukai, tentang sikap, tentang kebiasaan, tentang bentuk fisik, termasuk terkait dengan permasalahan hidup yang ia alami. Permasalahan-permasalahan yang muncul pun beranekaragam bentuk nya. Dalam setiap persoalan-persoalan yang ada kemudian mampu membuat kita belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Namun dalam proses nya tidak semua dari kita memiliki kemampuan menyelesaikan masalah itu sendiri, kita butuh peranan orang lain. Mengapa ? Karena pada dasar nya kita sebagai manusia tidak akan pernah bisa hidup sendiri, kita pasti akan membutuhkan orang lain. Analogi sederhananya seperti sedang berjalan sendirian dalam lorong sempit yang gelap dengan ada perasaan cemas, takut, kesepian. Berbeda jika kita berjalan bersama, hal tersebut bisa diminimalisir atau bahkan bisa mengubah perasaan-perasaan itu menjadi sesuatu yang berbeda. Misalnya menjadi sebuah perjalanan  seram yang menyenangkan karena bersama-sama. Begitu pun terkait dengan persoalan yang kita alami, terkadang kita perlu mencoba untuk menceritakan hal tersebut dengan orang lain, agar perasaan kita terasa lebih baik. Apakah hal itu membantu ? Bisa ya bisa jika tidak. 

        Dalam perjalanan waktu saya menulis, ada satu buku menarik yang pernah dibaca berjudul  “The Magic of Talking.”  Buku tersebut secara substansi nya memberikan tips-tips berkomunikasi yang baik. Namun yang menjadi menarik adalah dalam bab pertama buku tersebut mencoba mengulas tentang pendekatan psikologis secara internal, yakni kita diminta untuk mengenali diri kita secara lebih dalam. Kebanyakan dari kita tidak memahami tentang apa yang sebenarnya kita inginkan dalam hidup kita, kita tidak tahu apa yang menjadi tujuan kita kedepan, sehingga tidak memiliki tujuan yang jelas dalam hidup. Kita juga jadi tidak tahu tentang apa yang  menjadi kelebihan kita ataupun yang juga menjadi kekurangan. Apa penting nya? Jelas penting, karena hal tersebut mempengaruhi pembentukan karakter kita. Mengetahui jati diri adalah pencapaian awal sebelum kita mencoba untuk mempengaruhi orang lain. Mempunyai karisma kuat berawal dari kemantapan karakter yang ditonjolkan, sehingga orang melihat bahwa itu yang membedakan kita dari orang lain. Pikiran tersebut mengarahkan saya pada satu pernyataan filsuf kuno yang mengatakan bahwa kesalahan manusia adalah ia berpikir untuk hidup, bukan untuk mati. Kalimat tersebut terkesan sepele, namun sebenarnya memiliki makna yang sangat mendalam. Kebanyakan dari kita melupakan identitas sebagai seorang manusia karena terlena dengan kenikmatan persaingan duniawi, yang dipikirkan ialah bagaimana mengisi perut yang lapar ini dan memperkaya diri sebanyak-banyaknya sehingga tidak kesusahan di kemudian hari. Secara tidak ada salahnya dan memang munafik rasanya berpikir bahwa kehidupan sesederhana kata-kata indah dalam cerita kisah cinta romantis yang membawa kita terbang menembus cosmos. Namun pikiran realistis tersebut juga membawa kita pada pinggir jurang, karena realitas hidup juga tidak hanya tentang kepuasan finansial. Teringat pada penggalan kisah dalam buku berjudul "Man's Search For Meaning" yang mengisahkan pengalamannya Viktor E Frankl pada camp Nazi di Auschwits. Ia ialah seorang Neurolog dan Psikiater asal Austria yang pada awalnya seorang Dokter. Ada satu kisah dimana Ia menceritakan saat itu mereka diminta untuk melepaskan seluruh pakaian mereka dan meninggalkan barang-barang yang ada, dikumpulkan dalam satu tempat dalam keadaan bugil bahkan sebagian dari mereka disiksa tanpa adanya kesalahan sedikit pun, mereka di guyur air sedemikian kasarnya. Detik itu Ia sadar bahwa dirinya yang lama sudah mati, bahkan mereka semua dari latar belakang kalangan bawah sampai atas berada dalam satu tempat yang sama, mendapatkan perlakuan yang sama tanpa ada keistimewaan dan satu-satunya yang tersisa hanyalah badan bugil penuh ketakutan. Namun karena hal tersebut kemudian Ia menjadi sadar bahwa betapa berartinya sebuah kebebasan dan hidup. Kesuksesan dan kesenangan hidup tidak salah untuk di dambakan, namun jangan terlalu ambisius mencapai hal tersebut. Sebab hal tersebut dengan sendirinya akan tercapai, pilihan terbaik untuk mengapai hal tersebut ialah dengan menghiraukan nya dan biarkan takdir bermain dalam roda kehidupan, yang terpenting adalah bagaimana cara kita menemukan makna kehidupan kita sendiri, yakni bagaimana nanti kita ingin mati. Mustahil ! Tanpa kerja keras bagaimana mungkin bisa ? Iya benar, memang tidak bisa. Namun ada juga yang sudah berusaha keras, tapi alam memang tidak berpihak padanya untuk menjadikannya seperti apa yang dia mau. Cara terbaik ialah netral dalam pikiran, perasaan dan ambisi. Hal-hal diatas sebagai bahan pengantar untuk memahami bagaimana jalan pikiran saya terbentuk dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang belakangan membuat saya jatuh pada keadaan depresi.

 


        Belakangan ini sedang menghadapi persoalan depresi akibat ketidakmampuan saya sendiri dalam melakukan kontrol terhadap diri. Di bombardir oleh perasaan cemas, takut dan kekecewaan terhadap diri sendiri. Terutama permasalahan terkait ketakutan terbesar saya adalah gagal dalam karir dan tidak mampu mencapai apa yang saya cita-cita kan kedepan. Ada banyak hal yang menyebabkan saya mencapai puncak depresi yang tidak bisa saya ceritakan satu persatu dalam tulisan ini karena terlalu privasi.  Puncak depresi ialah ketika perlahan-lahan juga teman-teman yang dahulu nya akrab mulai menghilang entah kemana, karena sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Tersisa hanya diri saya sendiri menghadapi setiap persoalan yang ada, walaupun saya butuh teman untuk mendengarkan keluh kesah saya. Saya sadar sebagian adalah kesalahan sendiri yang tidak mampu memanajemen mental dengan lebih baik. Dalam perjalanannya saya mulai tumbuh dengan perasaaan-perasaan cemas tidak berujung yang menghantui setiap saat bahkan dalam tidur sekalipun, ada beban tanggung jawab yang harus saya pikul di usia muda ini. Bukan karena tuntutan, namun atas dasar kepekaan pribadi untuk mau ambil andil dalam setiap persoalan yang ada dan menyelesaikannya. Hari-hari saya lewati dengan kepala penat memikirkan tujuan hidup saya kedepan akan berjalan bagaimana dan merombak semua strategi mecapai apa yang saya impikan agar jelas arahnya. Sampai beberapa waktu yang berbeda dipertemukan kembali dengan orang-orang yang mempengaruhi setiap pilihan hidup yang saya ambil. Terutama saya memiliki satu kawan yang terlilit utang dalam jumah besar sekali akibat kesalahan masa lalu nya yang bodoh, kasar memang. Tapi itu memang bodoh untuk seseorang manusia yang seharusnya bisa berpikir bahwa apa yang Ia lakukan bisa berdampak sangat bahaya, bahkan bisa berakhir di dalam sel tahanan. Namun yang saya kagumi darinya ialah caranya mencoba menyelesaikan permasalahannya dengan berani. Ia memilih berusaha dahulu membayarnya dengan bekerja, tanpa menggunakan bantuan orangtua. Saya salut dengan pilihannya yang tetap mencari solusi dengan cara suci, hal tersebut membuat saya bisa yakin bahwa Ia benar-benar menyesali perbuatannya dan mencoba menebusnya dengan benar. Karena mungkin bagi beberapa orang jika terlilit utang sebesar itu bisa saja mengambil jalan cepat dengan melakukan hal kriminal atau putus asa dengan bunuh diri. Hal yang membuat saya kagum dan semakin tersentuh adalah perkataannya "walaupun ada masalah seperti ini, aku bersyukur. Karena hal ini aku bisa sadar, mungkin memang ini jalannya penebusan aku buat jadi orang yang lebih baik kedepannya." Betapa kagum nya saya dengan pikirannya, selayaknya sedang berhadapan dengan kaum fisuf Stoik yang terkenal akan kebijaksanaan pikiran dan tindakannya bahkan dalam keadaan sengsara. Bagaimana bisa dia tetap bisa mengucap syukur dalam keadaan seperti itu ? Bayangkan saja setiap harinya yang saya lihat raut wajah nya yang kelelahan menahan setiap kecemasan, dia masih bisa tersenyum dan melawak walupun tetap terlihat ia tidak baik-baik saja. Setiap harinya mengeluarkan uang Rp 5.000,00 saja harus berpikir berkali-kali. Bahkan kadang tidak makan  dan jika makan  terpaksa memakan mie saja dengan air untuk menganjal rasa lapar, karena uang yang ada harus di kumpul untuk membayar utang. Terbukti dari keadaan fisiknya terlihat memang badannya mulai kurusan. Pertemuan dengan nya membuat saya kembali berpikir bahwa persoalan yang saya hadapi hanya secuil upil yang dikorek-korek dengan jari saja sudah bisa dikeluarkan, sendangkan Ia seperti badan yang dihuni belatung yang perlu penanganan khusus oleh Dokter spesialis untuk dikeluarkan. Dalam beberapa kesempatan juga saya berdialog dengan teman-teman komunitas lingkar baca. Ada satu teman yang mengigatkan saya kembali pada satu pikiran Epictetus yang menyatakan bahwa "pintu itu terbuka. Jangan takut ketimbang anak-anak, tapi seperti mereka lah. Ketika mereka bosan dengan permainan, menaggis lah. Namun jika tetap tinggal, jangan meratap." Dalam hal ini, yang ingin dikatakan ialah terkait dengan ada banyak pilihan, kita memiliki pintu masing-masing tidak hanya satu jalan dan terdapat keadaan berbeda yang selayaknya diterima sebagaimana mestinya. Pada waktu itu teman saya menceritakan bahwa Ia memiliki teman yang sekarang jauh lebih sukses dari segi karier ketimbang diri nya. Dalam satu kesempatan Ia melakukan komunikasi dengan temannya yang sekarang diluar negeri tersebut dan mengatakan bahwa "wah.. sudah sukses ya sekarang. Bagi-bagi lah ilmunya." Namun diluar ekspetasinya malahan dibalas "ah biasa saja, justru kamu yang lebih banyak ilmu dan sepatutnya aku yang belajar." Yah.. kurang lebih percakapannya seperti itu lah walaupun tidak persis. Teman saya ini seorang wanita yang memiliki ambisi kuat, hidup dengan secangkir kopi, buku dan lintingan rokok yang menyejukan pikiran menyesakkan paru-paru. Ia bisa dikatakan seorang penikmat Sastra dan filsafat yang mengebu-gebu mengangkat hal-hal bertajuk lokalitas, terutama mengenai Kutai Barat. Ada beberapa pernyataannya yang menuntun saya menuju idealisme lalu yang sempat memudar karena depresi yang membopong pada jurang keputusasaan. Ia menguliti kebuntuan pikiran saya dengan kalimat pembuka "hey ! hidup itu punya banyak rahasia yang tidak dapat kita mengerti. Gak semua kan yang kita mau bisa di dapatkan ? Siapa sih yang gak pengen hidupnya sesuai dengan harapan ? Tapi jangan bodoh mejebak diri kita sendiri dalam pikiran-pikian yang membuat pusing tanpa ujung. Kita stres dengan pikiran bahwa kita jauh tertinggal dengan orang lain, seperti temanku yang diluar negeri. Lihat betapa kita memandang Ia sangat berhasil disana, bahkan sebagian dari kita beranggapan kalau orang-orang yang kuliah keluar itu jauh lebih pintar. No, sama aja. Mereka hanya tepat pada bidang nya, seorang Albert Enstein sekalipun yang dikatakan manusia paling jenius banyak hal yang masih belum dia ketahui. Emang Albert Enstein tahu tentang upacara balian misalnya ? kan gak. Kita harus punya pikiran yang realitis, tapi perlu juga idealis. Kenetralan pikiran perlu, ambisi yang mengebu-gebu juga gak baik. Justru orang yang seperti itu lebih banyak jatuh pada depresi karena kekecewaan ketika tidak sesuai ekspetasi nya. Mengalir aja hidup itu, usaha ya usaha aja. Gak berhasil ya sudah disyukuri. Kalau hidup dengan pikiran sesederhana itu, umur kita bisa lebih panjang tanpa beban. Memang sulit dan jangan munafik juga. Tapi ya ingat lah, kita punya waktu yang berbeda-beda, setiap perkembangan yang ada juga berbeda. Syukuri ! Anjay... Stoik sekali."

    Luar biasa sekali bukan pernyataannya? Cukup mengoyak sanubari yang labil. Haa... Kesimpulannya diambil masing-masing pembaca saja. Apa tips supaya bisa tidak depresi? Mustahil, setiap manusia yang hidup akan selalu mengalami depresi. Cara terbaik ialah dengan berdamai dengan permasalahan yang ada. Bagaimana? Caranya iya dengan menghadapinya sampai terasa biasa-biasa saja, bukan dengan trend healing-healing tai kucing, dengan liburan sana sini. Sebab tidak ada terjadi kesembuhan dengan berlari atau membiarkan. Apakah salah? Tidak salah,  yang salah membiarkan diri tidak mencoba menyelesaikan permasalahan yang ada dan selalu memilih menunda menghadapi nya lagi. Obat kedamaian ialah pengendalian pikiran. Pikiran yang di kontrol dengan baik mempengaruhi jalannya perasaan manusia. Perasaan terkadang dominan, seperti rasa takut, iri, bingung, dan sebagainya. Namun perasaan yang dibiarkan mendominasi semua hal akan merusak fokus kita terhadap banyak hal. Itu lah titik penting pengendalian pikiran. Namun pikiran yang mendominasi juga tidak selalu baik. Penting menyeimbangkan kedua hal ini dalam diri kita masing-masing. 

Komentar