Road of Death

Belakang ini, perhatian saya tertuju kepada satu konsep mengenai kematian. Yang memicu saya semakin penasaran tentang perspektif menarik dari pikiran-pikiran para tokoh yang berkaitan mengenai hal tersebut. Awal mula ketertarikan itu, ialah ketika saya membaca satu buku yang berjudul How to Die.  Buku tersebut merupakan salah satu buku yang mengutip pikiran-pikiran nya seoarang filsuf yang dikenal dengan nama Seneca. Secara substansi dari buku tersebut berdasarkan pemahaman saya adalah tidak menyuruh orang untuk mati, namun mengajarkan kita untuk bagaimana cara nya memperoleh kematian itu. Kebanyakan dari kita memandang sebuah kematian itu sebagai suatu hal yang menyeramkan sekali, sehingga kita menjadi takut karena hal tersebut. Terutama jika kita korelasikan terhadap kepercayaan akan konsep surga dan neraka, yang bisa membuat orang semakin takut untuk mati. Kalimat yang saya beri tanda miring diatas merupakan pikiran murni dari saya yang dapat dijadikan perenungan khusus, terutama bagi yang sangat berpegang teguh pada doktrin agamis nya. Apakah selama ini Anda takut untuk mati ? Jika ia. Maka kebanyakan pasti akan menjawab dengan alasan bahwa  “ya merasa belum siap saja, karena masih banyak dosa yang belum di tebus.” Menjadi menarik lagi ketika mencoba merenungkan hal ini dengan mempertanyakan kepada diri sendiri, bahwa apakah sebenarnya selama ini Anda bersikap baik di dunia semata-mata karena kecintaan Anda terhadap pencipta sehingga ingin mengikuti ajarannya ? atau sebenarnya semata-mata dilakukan karena tidak ingin masuk neraka ? Atau dengan kata lain, Anda takut masuk neraka. Bagi saya pribadi, jawaban dari kedua hal tersebut bisa memperlihatkan sejauh mana sebenarnya kualitas dan pendalaman keimanan seseorang.

Di dalam buku “How To Die” menyatakan bahwa kematian itu adalah tujuan hidup dari seorang manusia. Karena hidup selaras dengan alam, dan kematian bukan hal yang bisa dihindarkan. Yang menarik dari buku ini adalah perspektif nya tentang kematian sebagai tujuan akhir hidup, sehingga jika orang memilih untuk bunuh diri. Maka orang tersebut tidak lah salah. Bagaimana bisa seperti itu ? Ini lah bagian menarik yang saya katakan tadi. Perlu diketahui bahwa, Seneca adalah orang yang tidak berpendapat dengan teori-teori agamis. Melainkan ia berfilsafat dengan pikiran nya sendiri. Apa yang menjadi landasan nya ? Seperti diawal dikatakan, bahwa kematian itu  adalah tujuan akhir dari kehidupan. Maka secara tidak langsung itu adalah hal yang pasti terjadi. Hanya saja persoalan nya ialah seperti apakah kita akan mati nanti ? Kematian itu juga adalah hak, yang melekat pada diri manusia atau dengan kata lain sudah kodrat nya. Bagi nya, bunuh diri bukan lah hal yang salah. Karena orang yang bunuh diri memilih ingin mencapai tujuan akhirnya lebih cepat, yakni kematian. Dalam literatur lain, dalam buku-buku nya Sartre (Seorang filsuf Francis) juga mendukung pendapat ini. Dimana seseorang itu bebas memutuskan nasib nya sendiri, terutama jika berkaitan dengan kematian. Di Indonesia tentu nya, kebanyakan perspektif kita tentang bunuh diri adalah hal yang salah karena telah dipengaruhi doktrin agamis melarang hal tersebut karena akan jatuh pada sanksi yakni tentang perbuatan dosa. Mengapa ? Karena nafas kehidupan adalah anugerah besar yang diberikan pencipta kepada manusia, sehingga jika bunuh diri maka dengan kata lain tidak menghargai pemberiannya. Kita punya hak untuk menikmati nya, tapi harus sampai yang memberikan mengambilnya kembali. Selayaknya itu adalah sebuah perjanjian. Dalam doktrin agamis menentang hal tersebut dan meyakini bahwa kematian bukan lah tujuan dari kehidupan seorang manusia. Lantas apa ? Kematian itu dipandang sebagai jalan seseorang untuk mencapai kehidupan selanjutnnya yang jauh lebih baik. Karena tidak mungkin seorang manusia bisa mencapai itu tanpa melalui kematian. Namun kematian tidak dijadikan sebagai tujuan akhir dari kehidupan seorang manusia, melainkan tujuan akhirnya ialah ada tempat sangat indah yang telah dijanjikan sebagaimana yang telah tersurat dalam isi-isi kitab bagi manusia-manusia yang telah berhasil melaksanakan masa penziarahan nya sebagai seorang manusia di dunia. Bunuh diri adalah pilihan salah, karena melawan kodrat yang sudah disuratkan oleh pencipta. Hal ini selaras dengan pendapat nya Immanuel Kant, yang dalam buku berjudul “Groundwork of The Metaphysics of Morals.”  Yang dimana menyatakan bahwa bunuh diri itu adalah sebuah tindakan yang melanggar kewajiban seorang terhadap diri nya sendiri, sehingga tidak dibenarkan. Ia menilai bahwa, setiap permasalahan berat yang dihadapi manusia tidak akan menemukan jalan keluar dengan bunuh diri, melainkan pada diri sendiri yang berani menghadapi nya. Bukan dengan melarikan diri.

 


 

Saya menulis tentang hal ini bukan mendukung orang-orang yang memilih jalan bunuh diri atau menghakimi mereka yang melakukan nya. Saya berusaha netral dalam perspektif tentang hal tersebut. Saya sepakat bahwa jalan kematian itu adalah hak bagi setiap orang, namun terhadap pilihan bukan menjadi urusan saya. Lantas bagaimana jalan kematian yang saya tempuh ? Saya meyakini, bahwa kematian benar tidak dapat dihindarkan. Dan dulu jujur saya takut sekali untuk mati, karena merasa belum siap. Sampai saya sadar bahwa sampai kapan pun tidak akan ada yang benar-benar siap 100% menyambut kematian. Ada perenungan baik yang bisa dilakukan oleh kita dari pikiran Seneca, ia mengatakan bahwa “Aku tidak berencana untuk hidup sampai nanti sebagaimana yang dijanjikan oleh angan-angan ku yang tamak, namun aku menjalani setiap hariku bagaikan itu hari terakhir ku.” Jika kita merenungkan nya setiap hari, maka kita bisa semakin sadar dan lebih bijaksana. Bahwa betapa berharga nya sebuah kehidupan yang telah kita jalani di dunia ini, selayaknya hari terakhir. Maka semakin fokus kita untuk menikmati sisa waktu yang ada dengan lebih baik. Lalu bagaimana pilihan kematian yang saya ingin kan ? Saya lebih suka menjawab nya terlepas dari doktrin agamis, walaupun tidak bisa dipungkiri saya dibesarkan disana dan kebanyakan pikiran-pikiran saya dipengaruhi nya. Saya lebih suka menjawab nya berdasarkan pikiran saya sendiri atas dasar hal-hal yang saya pernah alami. Saya pernah berada pada titik terendah seorang manusia, dimana saya merasa benar-benar hancur. Sampai sempat terlintas pikiran bunuh diri tersebut. Jadi saya paham benar bagaimana rasa nya seorang berada pada fase tersebut. Saya sudah melalui nya dengan proses yang tidak mudah. Singkatnya apa yang saya pilih adalah selaras dengan pendapat Immanuel Kant. Bagi saya kita tidak berhak menghakimi orang-orang yang berpikir seperti itu, karena tidak semua orang memiliki manajemen mental yang bagus. Bahkan untuk seorang pelawak tongkrongan yang terlihat selalu bahagia, bukan berarti ia selalu bahagia. Dalam buku “Surat-Surat Stoa” saya temukan ungkapan menarik lainnya dalam surat tersebut yang membahas mengenai satu tokoh pria bernama Tullius Marcellinus, beliau dikenal sebagai orang yang baik. Ia menemukan jalan ketenangan di awal kehidupan yang mulai bermiditasi untuk bunuh diri setelah terkena penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ia tidak semerta-merta melaksanakan pilihan nya, melainkan menggumpulkan teman-teman Stoa nya untuk diminta pendapat. Ada satu pendapat bijaksana dari sahabat Stoa yang tidak dijelaskan siapa nama nya mengatakan bahwa “Anda tidak boleh membiarkan ini mengkhawatirkan Anda seolah-olah Anda harus membuat keputusan besar. Tidak ada yang begitu hebat tentang hidup. Hal yang hebat itu adalah mati dengan cara yang terhormat, tercerahkan dan berani. Pikirkan sudah berpa lama Anda melakukan hal yang sama seperti mereka yang makan, tidur, seks, sebuah siklus yang tidak pernah berakhir. Keinginan untuk mati dapat dialami bukan hanya oleh mereka yang tercerahkan atau berani atau tidak bahagia, tetapi bahkan oleh mereka yang mual. Tidak ada orang yang begitu bodoh sehingga tidak tahu bahwa suatu hari dia harus mati. Namun demikian, ketika kematian mendekat, dia berbalik, meratap dan gemetar, mencari jalan keluar. Tidak kah menurut Anda seseorang sangat bodoh jika dia menanggis karena tidak bisa hidup seribu tahun yang lalu ? Atau sama bodoh nya seseorang yang meneteskan air mata karena tidak akan hidup seribu tahun dari sekarang.” Jadi, esensi nya adalah bahwa sebenarnya tidak ada jaminan bahwa dengan kematian kita akan menemukan kedamaian. Mati yang baik adalah mati selaras dengan alam, Karena itu adalah mati yang terhormat yang berani menghadapi masalah, bukan lari dari kenyataan.

Komentar