Menerapkan Filosofi Kaum Stoa

 

Beberapa minggu ini saya menghabiskan waktu untuk membaca buku-buku kaum Stoa atau Stoisisme, ya ketertarikan ini berawal dari membaca buku karangan nya Henry Manampiring yang berjudul Filosofi Teras, sungguh buku yang sangat bagus dan saya rekomendasikan bagi para pembaca. Bukan sekedar untuk dibeli, namun juga dibaca sampai habis. Secara garis besar nya substansi buku tersebut berfokus kepada bagaimana cara kita untuk melatih mental, dengan menerapkan prinsip-prinsip yang dipakai oleh kaum Stoa atau Stoisisme tersebut. Sejauh ini saya baru membaca buku-buku nya Seneca yang merupakan salah satu bagian dari kaum Stoa itu sendiri. Dan masih banyak lagi buku-buku mereka yang ingin saya baca sampai tuntas. Entah kenapa ? Namun baru kali ini muncul gairah besar untuk membaca semua buku-buku tersebut, mungkin karena rasa penasaran yang sangat besar terkait apakah yang dituliskan di dalam buku Filosofi Teras tersebut sesuai dengan apa yang menjadi prinsip-prinsip dalam buku-buku kaum Stoa. Rasa penasaran yang lain ialah apakah benar dengan menerapkan hidup dengan prinsip-prinsip kaum Stoa tersebut maka kita akan menemukan kedamaian di dalam hidup ? sebagaimana merupakan salah satu hal yang ditawarkan dalam buku Filosofi Teras tersebut. Karena rasa penasaran yang besar, saya kemudian mencoba menerapkan prinsip-prinsip kaum Stoa dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana pula saran dari penulis buku Filosofi Teras. Saya mencoba untuk eksperimen pertama selama satu minggu ini. Perlu diketahui terlebih dahulu, dalam buku Filosofi Teras disebutkan bahwa buku-buku yang dituliskan oleh kaum Stoa kebanyakan memang menekan kan pada  “pikiran”, artinya bahwa segala sesuatu itu dikembalikan pada kekuatan dan keteguhan pikiran atau sederhana nya segala sesuatu itu berasal dari pikiran kita sendiri. Misalnya : tentang ketakutan, amarah, kesedihan, dan sebagainya. Apakah kalian sepakat dengan hal tersebut ? Sebelum mengambil kesimpulan, hal tersebut sudah saya upayakan untuk dipertentangkan pada awal nya, sampai titik dimana saya kemudian mencoba mempraktek kan nya sendiri. Sedikit berbagi cerita apa yang saya lakukan dalam satu minggu ini. Saya memulai dengan praktik ritual pagi dan malam yang merupakan saran dari penulis buku Filosofi Teras. Apa itu ritual pagi dan malam ? Jadi, ritual pagi itu adalah ritual yang dilakukan kita ketika sudah bangun tidur, terserah ketika baru-baru bangun atau ketika sudah mandi. Dimana dilakukan dengan cara kita membayangkan mengenai hal-hal buruk apa saja yang akan menimpa Anda hari ini dalam segala aktivitas yang dilakukan nanti. Saat memikirkan hal tersebut harus berupaya pada posisi pikiran netral, artinya tanpa rasa cemas atau takut. Dan ritual malam adalah saat dimana Anda evaluasi diri dengan mempertanyakan tiga hal, yakni pertama, hal benar apa yang telah saya lakukan hari ini ? kedua, hal salah apa yang telah saya lakukan hari ini ? dan ketiga, bagaimana saya bisa berlaku lebih baik ?


 

Pagi hari saya lakukan sebagaimana yang telah dicantumkan diatas, bahkan saya punya mekanisme tersendiri dalam upaya menerapkan prinsip-prinsip kaum Stoa. Yakni tentang pikiran-pikiran buruk yang selalu menghantui saya setiap hari nya, sehingga terkadang saya selalu cemas ketika mengambil keputusan-keputusan dalam hal tertentu. Saya memiliki ketakutan terbesar yang juga pasti dimiliki oleh beberapa pembaca. Dimana ketakutan itu saya tuliskan dan tempelkan di dinding diatas meja belajar saya, dengan label kekhawatiran sebagai sebuah ketakutan. Ada 6 hal yang saya tuliskan disana, dan saya rasa apa yang menjadi ketakutan saya biar lah menjadi rahasia pribadi. Ilustrasikan saja bahwa ketakutan yang saya tuliskan tersebut adalah ketakutan pembaca dalam hidup. Jadi setiap pagi, selain membayangkan hal-hal buruk lain dalam aktivitas sehari-hari, saya terus-terusan membaca ketakutan-ketakutan yang ditulis di dinding setiap hari nya dengan membayangkan bahwa suatu hari hal tersebut akan benar-benar terjadi. Semakin sering saya membaca nya kemudian muncul pikiran dalam otak saya bahwa ketakutan itu sudah menjadi hal biasa-biasa saja, sehingga rasa cemas yang ada bahkan tidak pernah saya rasakan lagi. Apa yang kemudian terjadi ? Yang terjadi adalah sebenarnya saya mencoba untuk melatih pikiran saya untuk bisa menerima ketakutan itu, dengan anggapan bahwa jika suatu saat hal itu benar-benar terjadi. Maka saya sudah siap menerima nya dengan biasa-biasa saja. Saya rasa ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Seneca bahwa “ kita menderita lebih di imajinasi kita dari pada di kenyataan. Kita memiliki kebiasaan membesar-besarkan kesedihan. Kita tercabik di antara hal-hal masa kini dan hal-hal yang baru akan terjadi. Pikirkan apakah sudah ada bukti yang pasti mengenai kesusahan masa depan. Karena sering kali kita lebih disusahkan kekhawatiran kita sendiri.”  Selain dari pada itu saya juga menerapkan perintah tegas dalam keseharian, yang saya tuliskan juga sebagai salah satu agenda dalam satu minggu ini, dan saya bacakan setiap pagi. Perintah itu berisi tentang dua hal, yakni hari ini jangan mengeluh dan jangan marah. Apa yang terjadi ? Sepenuh nya selama seminggu ini itu tidak lah berhasil, saya kecolongan beberapa kali. Namun ternyata ada efek baik yang terjadi. Saya jadi memikirkan bahwa betapa seringnya saya melanggar perintah tersebut dan akhirnya berupaya memperbaiki perilaku. Dan ternyata cukup meminimalisir saya untuk tidak sering mengeluh dan marah-marah, bahkan mungkin jika diterapkan dalam waktu jangka panjang bisa jauh lebih baik. Mengapa bisa demkian ? Jadi hal tersebut adalah satu upaya juga untuk mendobrak pikiran, dengan saya sering membaca perintah tersebut. Secara otomatis ketika saya mulai mengeluh atau marah akan terhenti dengan sendiri nya, mengigat bahwa saya gagal menerapkan nya lagi. Dan secara tidak langung saya langung melakukan introspeksi diri detik itu juga terhadap diri saya.  Begitu pula dengan ritual malam hari yang saya lakukan. Dengan mempraktekan nya, saya jauh lebih memperhatikan dengan cermat akan apa yang terjadi dalam hidup, yang selama ini sering saya hiraukan begitu saja. Dan hal itu membantu saya untuk berubah menjadi orang yang lebih baik lagi kedepan nya.

Sungguh luar biasa pengalaman selama seminggu ini dalam upaya menerapkan prinsip-prinsip kaum Stoa, saya pribadi merasakan dampak yang cukup besar walaupun dalam waktu singkat, bahkan kedepan prinsip-prinsip mereka akan saya gunakan terus dalam kehidupan sehari-hari. Setelah menerapkan nya saya dapat mengerti  bagaimana rasa nya menerapkan prinsip-prinsip kaum Stoa atau Stoisisme tersebut. Sejauh ini saya sepakat bahwa segala sesuatu itu dikontrol dengan dikembalikan pada kekuatan dan keteguhan pikiran tadi, berkaitan dengan rasa ketakutan, amarah, stres, kesedihan, kebahagiaan, dan lain nya. Hanya saja, sangat disayangkan bahwa selama ini saya membiarkan pikiran-pikiran yang menganggu tersebut menguasai diri sepenuh nya tanpa berupaya melakukan pengolahan terhadap nya. Dan hasil nya memang saya jauh merasa hidup lebih santai dan damai dibandingkan sebelum nya dengan segala masalah yang menghadang selama seminggu ini. Mungkin tulisan saya ini akan terlihat seperti fiksi belaka, namun saya tegaskan bahwa hal tersebut memang benar-benar terjadi. Apakah dikarena saya saja yang terlalu filosofis ? Jawaban nya saya rasa tidak, lebih tepat nya karena prinsip yang diajarkan sesuai dengan masalah kita dalam kehidupan ini, dan pasti ditemukan pada setiap manusia. Dalam hal ini masih banyak ajaran-ajaran bagus dari kaum Stoa, dan sangat disayangkan jika tidak dibaca. Saran saya, mulai lah dahulu dengan membaca buku Filosofi Teras. Saya tahu membaca itu membosankan bagi sebagian orang, namun dengan membaca kita akan tahu banyak hal, dan itu akan berdampak besar pada pikiran kita kedepan.

Komentar