"Berketuhanan Yang Adil Dan Beradab, Kemanusian Yang Maha Esa"


Mungkin ada yang bertanya-tanya tentang maksud dari pemilihan judul tersebut? Sekedar untuk meluruskannya. Jadi memang judul tersebut saya pilih sebagai bentuk keluh kesah saya pribadi, sekalian kritik terhadap konsep pemahaman kebanyakan warga Negara Indonesia terkait dengan Pancasila. Seperti hal nya  sila Pertama yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dimaknai dengan berbagai macam sudut pandang. Sepanjang hidup saya ketika saya sudah mampu berpikir dengan jernih, konsep Berketuhanan di Indonesia bahkan seluruh dunia ini menjadi persoalan yang terus saja menghantui pikiran saya setiap hari nya, sehingga menjadi perhatian khusus yang betul-betul meresahkan, mengigat dalam realita ada nya perbedaan-perbedaan yang memicu konflik sampai pada tindakan anarkis. Banyak hal yang saya sendiri sudah lalui untuk kemudian berani menuangkan pikiran-pikiran saya dalam bentuk tulisan. Melaui dialog dengan orang-orang yang pernah saya temui dan bahkan dengan mencari buku-buku yang fokus nya membahas mengenai siapa itu Tuhan ? siapa itu manusia ? dan bagaimana hubungan Tuhan dengan manusia itu sendiri sebenarnya ?



Pada kesempatan lain ketika saya sedang bermain sosmed. Saya menemukan satu pertanyaan menarik yang ikut saya kritisi. Pertanyaannya kurang lebih seperti ini  “coba terangkan bagaimana cara kamu membela agama mu ?” Dalam hal ini saya berpendapat bahwa dari pertanyaan itu saja sudah salah. Untuk apa membela agama ? Secara sederhana nya kita ibaratkan agama itu adalah wadah (seperti hal nya gelas), iman itu ibarat (air). Untuk dapat mengambil air memerlukan wadah. Apa wadah nya ? yaitu agama tadi. Agama adalah tempat kita belajar tentang kebenaran dan mengenal siapa pencipta kita, belajar mengenai tata cara berdialog dengan pecipta, serta banyak hal lainnya. Dalam literatur yang pernah saya baca, iman itu hubungan personal dengan pecipta yang berbeda dengan agama walaupun memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan. Menurut saya membela agama itu satu bentuk kekonyolan. Mau dihina, disalahkan sekalipun ya agama itu tetap ada, selama ada yang menganut nya. Sebenarnya manusia seperti itu adalah manusia yang membela diri nya sendiri dari serangan orang lain terhadap apa yang dia yakini. Lebih konyol lagi jika membela Tuhan. Seperti kata Sujiwo Tejo “Bahwa Tuhan itu tidak perlu dibela, kalau kita percaya Tuhan itu Maha Kuasa, Maha besar. Maka biarkan Tuhan yang membela dirinya sendiri.” Tuhan saja tetap menurunkan rezeki ke orang-orang yang tidak percaya terhadap nya, tetap menerbitkan matahari bagi orang baik dan jahat. Lantas kenapa kita yang manusia berlagak superhero membela Tuhan yang jauh lebih sempurna dan berkuasa dari kita, bahkan sampai menghakimi orang yang berbeda dari kita. Beda persoalan jika kita dilarang menyembah, maka saya mengutip lagi pernyataan Sujiwo Tejo “Jika yang dilarang menyembah, DARAH !!!” Jika persoalannya adalah seperti itu, maka ya itu juga sudah masuk pada perkara hukum, karena konstitusi kita yakni UUD 1945 menjamin kebebasan beragama setiap orang, silahkan saja diperjuangkan. Hanya bukan itu fokus pembahasan kita kali ini. Secara dalam hal ini saya sudah membaca beberapa literatur buku-buku menarik dan tidak menemukan satu pun yang menyatakan bahwa Tuhan itu menciptakan agama. Tuhan hanya menurunkan wahyu/firman nya melalui Nabi-Nabi lalu disampaikan kepada umat nya. Lantas saya berpikir, lalu mengapa manusia memberi sekat-sekat pembatas dan ngotot bahwa agama nya adalah yang paling benar ? Padahal kita meyakini bahwa Tuhan itu Maha baik, Maha adil, Maha bijaksana, serta meyakini nya memandang manusia itu sejajar baik hak-hak nya mau dia laki-laki atau perempuan, bahkan orang jahat sekalipun akan tetap Tuhan ampuni. Ya tentu pernyataan saya ini akan menimbulkan selisih pendapat yang bermacam-macam dikalangan pembaca nanti nya.

Hal-hal demikian lah menimbulkan sebagian orang mempertanyakan kebenaran-kebenaran dari agama dan Tuhan itu sendiri, sampai pada puncak nya yakni menjadi seorang atheis. Di beberapa kesempatan saya pernah bertemu beberapa orang-orang yang atheis dan membicarakan banyak hal mengenai agama, Tuhan, manusia itu. Secara dari orang-orang tersebut dapat ditarik pada satu titik temu menarik, bahwa mereka memilih menjadi atheis karena tidak menemukan jawaban yang logis tentang Tuhan sama sekali itu pasti. Namun ternyata mereka juga lelah dengan orang-orang yang belajar agama, tapi sikap nya dalam kehidupan sosial tidak mencerminkan orang yang bertuhan sama sekali. Bahkan kata nya jauh lebih baik kami yang atheis tapi bisa memanusiakan manusia dibandingkan mereka yang beragama tapi sikap tidak memanusiakan manusia, sama hal nya mereka menghina Tuhan mereka sendiri. Pernyataan tersebut merupakan singgungan yang keras, namun sesuai realita yang ada dalam masyarakat. Ada satu pernyataan menarik dari Albert Einstein, yakni “Der Herr Gott werfell nicht” yang jika diterjemahkan berarti “Tuhan tidak bermain dadu.” Hal ini tersebut diberi makna bahwa Tuhan itu sendiri tidak menciptakan atau menggerak kan alam semesta ini seperti anak kecil yang bermain melemparkan dadu secara acak saja. Bagi Einstein sendiri, semesta ini bersifat pasti dan teratur sedemikian rupa. Untuk itu tentu nya keberadaan dari agama-agama di dunia ini menjadi tetap ada tentu memiliki alasan tertentu bagi Tuhan yang tidak dimengerti oleh manusia itu sendiri. Karena jika Tuhan mau, maka bisa saja dia meniadakan keberadaan agama-agama yang ada.

Seandainya kita sepemahaman, mungkin kita bisa berdialog semeja sambil mengosipi Tuhan tanpa rasa ketakutan akan ketersinggungan. Sangat disayangkan pada realita nya kita memberi sekat-sekat pembatas, bahwa Tuhan ku bukan Tuhan mu. Justru saya pribadi semakin takut memanusiakan manusia yang tidak ingin dimanusiakan karena berbeda. Bahkan jika ajaran agama saya terus berkata lurus lah pada jalan kebenaran. Lantas kebenaran mana yang harus saya pilih ? Karena setahu saya ajaran agama mu juga lurus pada jalan kebenaran. Mungkin sebagai manusia kita terlalu fanatik dalam hal beragama. Apakah benar Tuhan mengiginkan demikian ? Jika Tuhan terletak pada diri setiap orang ? Lantas mengapa kita memberi label penganut keyakinan lain tidak bertuhan sama sekali ? Jika kita menyakini bahwa kodrat dan takdir itu sudah ditentukan Tuhan. Lantas mengapa kita bertengkar jika Ia terlahir dengan keyakinan tertentu yang berbeda dengan diri kita ? Apakah Anda pernah berpikir hal yang demikian ? Ini lah titik penting dari beragama, ialah juga harus kritis. Memahami manusia itu bagian tersulit dari sebuah upaya untuk memahami Tuhan lebih lanjut. Kita menafsirkan hal-hal tertentu yang kebenarannya saja mungkin kita keliru untuk memahami. Bahkan saya sendiri sampai sekarang tidak mengerti mengapa terlahir sebagai seorang manusia.

Dalam hal ini masih banyak hal-hal yang ingin saya utarakan dalam tulisan ini. Namun hal-hal sebagaimana yang sudah dicantumkan ini rasa nya sudah cukup sebagai pengantar pembaca untuk berpikir kritis terhadap persoalan ini dan mampu mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang sekiranya memperkokoh toleransi serta menjaga keutuhan kita sebagai bangsa, jangan sampai terpecah belah hanya karena perbedaan ini, sebab bangsa kita didirikan atas dasar kemajemukan yang berakenaragam dan dipersatukan dalam kesepakatan yang kita sebut sebagai Pancasila. Sebagai penutup, saya sependapat dengan seorang ulama bernama Habib Husein Ja'far Al Hadar atau sering di sapa akrab dengan sebutan Habib Jafar, yang mengatakan “Jika seorang itu bukan saudara mu dalam agama, maka dia saudara mu dalam kemanusiaan.” Memanusiakan manusia itu bentuk perwujudan dalam hal melayani Tuhan sendiri, selain dari pada mempertimbangkan aspek pahala. Untuk itu bertuhan lah yang adil dan beradab, serta junjung tinggi kemanusiaan selayaknya di Maha Esa kan.

Komentar

Posting Komentar